Rupiah Melemah, Saham Bank Tertekan

Spread the love

BejaPT – Pelemahan rupiah masih berlanjut di tengah keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini. Hal ini dapat berdampak negatif pada sektor Perbankan.

Bahkan dalam sepekan beberapa perbankan mencatatkan penurunan harga sahamnya. Dari 10 saham bank terbesar, hanya dua yang menguat dalam sepekan yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN).

Saham NISP turun paling dalam yakni 4,8% dan diikuti oleh BBRI (3,52%).

Adapun menosotnya mayoritas saham perbankan seiring dengan melemahnya nilai rupiah yang berlanjut hingga awal perdagangan hari ini Rabu (16/8/2023). Pada penutupan perdagangan kemarin, Selasa (15/8/2023) mata uang Garuda melemah 0,16% secara harian ke posisi Rp15.335/US$.

Nilai mata rupiah kali ini menjadi yang paling lemah sejak 20 Maret lalu atau nyaris lima bulan terakhir. Jika melihat pergerakan sejak pekan lalu, rupiah sudah turun 1,12%.

Sementara itu data inflasi AS dan deflasi China menjadi faktor pelemahan rupiah dalam sepekan kemarin. Meski inflasi AS bergerak sesuai ekspektasi pasar tetapi angkanya lebih tinggi dibandingkan Juni 2023.

Dampak dari situasi ini adalah potensi Bank Sentral AS (The Fed) untuk mengambil sikap dovish (kebijakan moneter longgar) masih terbatas.

Kebijakan moneter yang tetap kaku dari The Fed berpotensi memperkuat dolar AS dan membuat mata uang lain, termasuk rupiah, melemah. Suku bunga yang tinggi cenderung mendorong investor untuk memilih aset aman seperti dolar AS.

Selain itu sentimen pelemahan rupiah juga terdapat dari dalam negeri. Hasil neraca perdagangan RI turun pada periode Juli 2023 dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya.

Surplus neraca dagang periode Juli 2023 anjlok 63% menjadi US$1,31 miliar dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) yang mencapai U$3,54 miliar per Juni 2023.

Pelemahan rupiah secara jangka panjang dapat berpengaruh negatif pada sektor perbankan. Dampak tersebut adalah dari sisi rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) dan ekspansi kredit yang melambat.

Seiring dengan menurunnya nilai rupiah, risiko kredit akan naik terlebih bagi perusahaan yang menggunakan dolar AS dalam operasionalnya.

Selain itu, pelaku impor yang kemudian mengandalkan pasar domestik, akan dirugikan karena harus membayar lebih mahal.

Kredit bermasalah yang naik akan membuat bank mempertebal pencadangan dan akhirnya akan menggerus laba.